Halu-halu..
Maaf ye, akhir-akhir ini jarang ngeblog. Sekalinya ngeblog, kalo pas ada iklan doang.

#BloggerMurtat
#BloggerJahanam
#TapiTetepGanteng

Oke, sebenernya gue lagi sibuk ngurusin final editing naskah buku baru gue RELATIONSHIT! Yeay! Buku ini tinggal menghitung minggu untuk rilis. So, buat yang udah sabar selama 2 taun buat nungguin karya baru gue (Ge'eR banget), kalian boleh segera syukuran dan nyembelih koruptor. Selain sibuk ngurusin buku baru, gue kemarin juga sibuk mondar-mandir Jaksel-Jakpus buat meeting sama bang Sunil Soraya (Produser film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck). Buku kedua gue, SKRIPSHIT rencananya mau difilmkan. Tapi belum fix sih, baru bahas story-line. Doain aja semua lancar sampe bener-bener jadi film. (Aamiin!)

Nah, mari kita mulai postingan ini dengan sebuah cerita. Bayangin keadaannya ada dua muda-mudi lagi duduk berhadap-hadapan di sebuah tempat penuh pepohonan dan bebatuan.

"Mulai hari ini kita musuhan aja ya~" Ucap Ningsih kepada pacarnya yang terduduk lesu di hadapannya.

Mendengar kalimat itu, Supri yang tadinya menundukkan kepala, mendadak mengangkat kepalanya dan menjawab, "Hah?! Maksud kamu apa?!"

"Ya, kita putus." Ningsih mengucapkan kalimat itu dengan santai.

"Kok musuhan?! Biasanya orang ngajak putus kan bilangnya 'Mulai hari ini kita temenan aja ya!' gitu?" Supri menggaruk-garuk kepalanya, kebingungan.

Ningsih tersenyum, lalu menjawab, "Aku cuma nggak mau muna aja. Biasanya mereka bilang 'Mulai hari ini kita temenan aja ya', tapi endingnya setelah putus, mereka tetap nggak saling teguran. Itu kan musuhan namanya. Jadi, bener kan, kalo aku bilang 'Mulai hari ini kita musuhan aja ya!' Hehe."

"Tap.. Tapi.. Salahku apa?" Supri mencoba untuk menggebrak meja, tapi tangannya tak mengenai apa-apa, karena di depannya tidak ada meja.

"Kamu terlalu ngebosenin buat aku." Setelah mengucapkan kalimat itu, Ningsih pun berlalu.

"Kok alasannya itu? Biasanya kan orang kalo mutusin itu pake alasan, 'kamu terlalu baik buat aku'?" Supri bertanya dengan nada tinggi.

Dari kejauhan, Ningsih menjawab, "Aku cuma nggak mau muna aja. Bye!"

Supri terdiam, lalu perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya. Dia pun pergi meninggalkan batu nisan besar yang sering mereka pakai sebagai tempat pacaran itu.

Waktu lambat berlalu sejak hari itu. Minggu pertama dihabiskan Supri untuk mengurung diri dan berbicara pada diri sendiri, 

"Nggak mungkin. Dia nggak mungkin kehilangan cintanya padaku!"

"Nggak mungkin. Dia nggak mungkin bosen sama aku!"

"Nggak mungkin. Dia nggak mungkin balikan sama mbak-mbak laundry itu!"

Ya, Supri mencoba sepenuh hati untuk menolak kenyataan yang terjadi. Tapi sekeras apapun usahanya, kenyataan itu tidak bisa dipungkiri.

Minggu kedua, Supri sibuk ngamuk-ngamuk di kamarnya. Hampir seluruh sudut rumahnya dia pipisin dengan membentuk nama Ningsih. Lalu, dia memberanikan diri buat ngirim SMS buat maki-maki Ningsih.

"Dasar cewek nggak tau diri!! Nggak ngerti disayang! Nggak ngerti enaknya dikirimin pulsa tiap hari!! Dasar cewek kampret!!" SMS itu tak berbalas.

"Tapi aku masih sayang kamu!! Huhuhu!!!" Supri mengucapkan kalimat itu sambil nyobek-nyobek foto-foto Ningsih, dan endingnya foto itu dia rangkai lagi  pake selotip sambil nangis.

Minggu ketiga, saat amarah mereda, Supri nyoba nemuin Ningsih. Dia memberikan 1001 alasan buat balikan.

"Ningsih.. Kalo kamu mau balikan sama aku, aku bakal ngajakin kamu jalan-jalan keliling Indonesia. Jalan kaki."

"Ningsih.. Kalo kamu mau ngasih aku kesempatan, aku bakal berusaha jadi cowok yang nggak ngebosenin. Aku rela pakai kostum sailormoon tiap kali ngedate sama kamu."

"Ningsih.. Plis, balikan sama aku.. Umurku sudah nggak lama lagi.. Aku punya penyakit parah..  Sejak putus ama kamu, aku nggak punya alasan untuk keramas. Akhirnya aku ketombean kronis. Dan ketombe-ketombe itu tiap hari tersedot, memenuhi paru-paru. Plis.. Jadikan sisa usiaku ini indah bersamamu."

Mendengar seluruh alasan Supri buat balikan, Ningsih tetap bergeming pada pendiriannya bahwa dia nggak mau balikan sama Supri.

Dengan sikap Ningsih yang seperti itu, Supri pun jadi depresi. Dia tidak bisa lagi menahan emosinya. Supri kehilangan akal sehatnya. Di titik itu, Supri mencoba untuk bunuh diri dengan cara lompat dari jembatan. Tapi dia gagal mati, karena dia lupa bahwa orang yang bisa berenang itu nggak mungkin bisa bunuh diri di air. Dia pun mencoba untuk bunuh diri dengan cara tiduran di rel. Tapi dia gagal juga di sana, karena yang dia tiduri adalah rel kereta Thomas milik adiknya. Supri semakin depresi karena dia merasa malas hidup, tapi susah mati juga.

Akhirnya Supri nyoba cara terakhir untuk bunuh diri, yaitu manjat tower selular. Saat sedang berada di puncak tower, Supri melihat ada 2 orang yang sedang berjalan di bawahnya. Dia mengenali salah satu di antara mereka, itu adalah Ningsih. Dia sedang mendorong seseorang yang duduk di kursi roda. Di situ, Supri nyadar kalo pria yang duduk di kursi roda itu adalah ayahnya Ningsih. Ayah Ningsih sudah beberapa tahun terakhir terserang penyakit stroke sehingga tidak bisa berjalan. Dulu Ningsih sering mencoba bercerita soal keadaan ayahnya, tapi Supri tak pernah peduli.

Saat Supri memikirkan keadaan ayah Ningsih yang duda itu, Supri baru nyadar bahwa dia sudah terlalu banyak menyita waktu Ningsih untuk bersamanya. Supri pun mengintrospeksi diri selama dia pacaran dengan Ningsih, hampir seluruh waktu Ningsih selalu dihabiskan sama Supri. Mulai dari makan bareng, nonton bareng, sampai cukur kumis pun harus bareng.

Misal Ningsih menolak ajakan Supri buat jalan, Supri bakal marah-marah. Tanpa Supri tahu separah itu penyakit bapak Ningsih. Di titik itu, saat Supri melihat betapa menyedihkan keadaan bapak Ningsih, akhirnya Supri bisa ikhlas melepas Ningsih. Supri nyadar, bahwa Ningsih memutuskannya bukan untuk pacaran lagi dengan siapa-siapa. Tapi Ningsih hanya mencoba untuk lebih fokus merawat papanya.


Nah, dari cerita di atas, gue mau ngasih tau lo bahwa setiap manusia yang kehilangan itu selalu melalui beberapa tingkatan emosional. Di dunia psikologi, hal itu disebut dengan '5 Stages of Grief'. Penggagas dari istilah ini adalah Elisabeth Kubler-Ross. Yap, dalam teorinya, mbak Eli ini menjelaskan bahwa setiap manusia yang merasa kehilangan bakal ngalamin 5 fase:

1. Denial & Isolation
2. Anger
3. Bargaining
4. Depression
5. Acceptance

Silakan kalian cermati, kalo perlu dibaca ulang cerita di atas, apa aja yang dilakuin sama Supri pasca dia putus sama Ningsih. Yap, secara runtut Supri udah melewati 5 fase orang kehilangan itu. Dan gue yakin, kita semua juga pernah mengalami fase-fase itu.

Tapi banyak di antara kita yang nggak nyadar kalo kita harus melewati fase-fase ini agar kita bisa terlepas dari rasa kehilangan. Orang yang gagal move on itu biasanya terjebak di level 1, 2 atau 3. Orang yang gagal move on dari mantan itu biasanya terjebak di dugaan-dugaan semacam ini:

- "Dia nggak mungkin kehilangan perasaannya sama aku."
- "Dia itu orang yang paling jahat yang pernah aku cintai! Aku nggak bisa maafin dia!"
- "Kalo aku ngerubah penampilanku biar lebih menarik, mungkin dia bakal balikan sama aku."

Gagasan-gagasan di otak yang semacam itulah yang membuat manusia tidak bisa terbebas dari rasa kehilangan. Tanpa disadari, gagasan itu adalah gagasan yang selalu menyiksa diri sendiri. Ada gagasan yang nge-PHP-in diri sendiri, ada pula gagasan yang selalu menyimpan dendam dalam diri. Membenci mantan itu bukan tanda orang move on, tapi itu justru tanda bahwa orang itu gagal move on. Move on itu adalah istilah lain dari ikhlas, atau dalam teori di atas, si pelaku sudah berada di level Acceptance. Gimana biar bisa cepet move on dari mantan? Gue pernah share di sini.

pic by: godisheart.blogspot.com

Oiyah, teori ini bukan cuma ngecover masalah kehilangan pasangan atau orang terkasih doang, tapi masalah kehilangan hal apapun. So, sampe sini dulu sharing gue malem ini. Dari tulisan ini, lo pernah ngalamin hal serupa nggak? Coba share apa aja yang udah pernah lo lakuin saat lo berada di tiap fase di atas. Ciao! :D


"Kehilangan mengajarkan kita, tentang betapa berartinya hal yang mungkin tak pernah kita hargai saat masih dimiliki."