Hati gue hancur kemarin waktu denger berita seorang mahasiswi ditembak oleh rampok yang berusaha merampas hartanya. Gimana enggak, gue kebayang jadi orang tua korban yang membesarkan anak itu dengan penuh kasih sayang. Waktu kecil dia ditimang-timang, dicariin duit dengan memeras keringat supaya dia bisa tumbuh dewasa. Selalu dijaga kesehatannya, dan diobati setiap dia sakit. Namun semua "investasi" orang tua itu terenggut begitu saja oleh tangan perampok yang mau merampas harta yang tak sebanding dengan segala pengorbanan orang tua korban untuk membesarkannya. Semoga korban diberi tempat terbaik di sisi Tuhan, dan semoga kerabat dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Dan untuk para perampok, semoga Tuhan segera membukakan pintu taubat.

 

Gue selalu perhatiin, menjelang lebaran tingkat kriminalitas semakin meningkat. Perampokan, begal, curanmor, menjadi semakin brutal jumlahnya. Bahkan, rumah-rumah kosong yang ditinggalkan mudik pemiliknya pun pada jadi incaran maling. Itu semua beralasan. Banyak orang pengin terlihat sukses di mata teman maupun keluarganya di hari raya. Seakan-akan, hari lebaran bagi mereka adalah deadline untuk menunjukkan hasil kerja kerasnya.

Ya, hari lebaran, di kampung gue biasanya dijadikan hari di mana para perantau menunjukkan pencapaian. Mereka biasanya beli motor baru, mobil baru, baju baru, atau beli perhiasan untuk dibawa silaturahmi keliling kampung. Dengan harapan, mereka akan dianggap sukses oleh keluarga. Padahal, kalo ditarik maknanya, hari lebaran adalah hari kemenangan. Kemenangan melawan hawa nafsu sepanjang bulan ramadhan. Bukan kemenangan melawan kemiskinan sepanjang tahun. Memang hal itu tidak salah, yang salah adalah ketika haris memaksakan diri hanya agar terlihat sukses. Yang dampaknya adalah melakukan hal yang merugikan diri sendiri, maupun orang lain.

Kadang gue suka miris ngeliat ibu-ibu yang dandan heboh di hari lebaran. Memakai perhiasan emas dari pergelangan tangan sampai ke lengan. Untuk menunjukkan bahwa keluarganya sukses mengumpulkan harta. Padahal, itu sangat melenceng dari makna lebaran yang sebenarnya.

Dulu, waktu SD sampai SMP, gue emang suka ngotot harus punya baju baru kalo lebaran hampir tiba. Itu semua berkat dorongan pergaulan di kampung, di mana teman-teman suka mengejek kalo lebaran gue pake baju lama. Namun, dengan bertambahnya usia kita, kebiasaan itu semakin menghilang. Gue semakin cuek dengan apa yang gue pakai saat lebaran tiba. Selama itu masih sopan, rapih, dan wangi, kenapa harus sungkan?

Tapi hal itu tidak berlaku di sebagian orang. Masih banyak orang yang berpikir, hari lebaran semua harus baru, semua harus mewah, semua harus wah. Mungkin orang-orang itu bukan merayakan lebaran, namun mencari kesempatan di hari lebaran untuk jadi ajang pameran. Mindset itu yang pengin banget gue hapus dari diri gue dan keluarga. Lebaran bukanlah momen untuk menunjukkan pencapaian. Lebaran bukanlah momen untuk membahagiakan orang tua. Lebaran bukanlah momen untuk berfoya-foya.

Lo mau bahagiain ortu dengan cara beli perhiasan untuk ibu? Kenapa nunggu lebaran? Lakukan setiap kali lo punya kesempatan dong. Apa ortu dulu juga nunggu anaknya laper dulu, baru dibeliin makan? Nggak kan? Lo mau menunjukkan pencapaian? Kenapa harus nunggu lebaran? Pencapaian nggak perlu ditunjukkan di hari raya. Tunjukkan dengan cara lo selalu care dan bisa mengurangi beban keluarga, setiap saat, itu baru pencapaian namanya. Lo mau berfoya-foya? Lakukan saja secukupnya, di saat otak lo lagi butuh dikendorin setelah melakukan tanggung jawab kerja. As I do, gue selalu komitmen ke diri sendiri, setiap abis ngelarin satu project, gue bakal liburan, mengendurkan pikiran. Nggak perlu nunggu lebaran.

Percuma apabila demi merayakan hari kemenangan, akhirnya orang harus nekat mencoreng sucinya bulan Ramadhan. Orang-orang yang nekat melakukan hal-hal di luar kapasitasnya, untuk menunjukkan pencapaian palsunya, menurut gue nggak pantes merayakan hari lebaran. Mereka yang sibuk untuk terlihat mewah di hari lebaran, gagal meneladani kesederhanaan Rasulullah.

"Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar biji zarah (atom)” (HR. Muslim 2/89 dan At Tirmidzi 3/243)

Jadi, gue harap kita nggak lagi heboh menyambut hari raya lebaran dengan bingung ngumpulin uang untuk dihabiskan bersama keluarga. Jangan stress karena di hari raya lebaran, bokek melanda. Jalani semua dengan ikhlas, karena justru pas lebaran itu banyak makanan gratisan. Jadi, ngapain stress karena nggak ada duit pas lebaran? Jangan malu karena belum terlihat sukses seperti teman seumuran lainnya. Malulah kalau kita belum bisa berpikir sedewasa orang-orang yang mampu berbahagia dengan segala kesederhanaannya.

Demikian uneg-uneg gue menjelang waktu buka puasa ini. Semoga bisa jadi bahan renungan kita semua. Kita masih muda, kita bisa menciptakan tradisi yang berbeda. Mari rayakan hari kemenangan dengan penuh suka cita, tanpa perlu menebus semua dengan harta. Bahagia itu sederhana, yang mahal itu gengsinya.

Selamat berpuasa!