Ada tukang bakso yang jualan deket rumah, sebut aja Pak Supri. Pak Supri ini biasanya ngambil air buat nyuci piring pake ember ke rumah Pak Harno. Mereka udah kenal lama, karena Pak Supri udah jualan bakso di sini selama puluhan taun. Namun akhir-akhir ini Pak Supri bela-belain ngambil air ke rumahnya sendiri yang berjarak 800 meteran. Padahal Pak Supri jualan di trotoar depan rumah Pak Harno.

Sesekali gue liat, saat Pak Harno lewat, dia menyapa Pak Supri. Namun Pak Supri cuma menjawab secara basa-basi. Gue penasaran, apa yang membuat Pak Supri terlihat bete ama Pak Harno. Apakah Pak Harno merebut istri dan anak cucu Pak Supri? Gue pun beraniin nanya kepada Pak Supri.

"Pak.. maaf, emang ada masalah apa sama Pak Harno? Kok kayaknya Bapak bete gitu?" Gue lalu mengunyah bakso gue dengan santai.

"Males saya ngobrol sama pendukung calon gubernur yang "itu". Banyak dosa!" Jawab Pak Supri sambil memainkan rambutnya sendiri.

"Oh.. Tapi emang Pak Harno pernah maksa Bapak buat dukung idola dia juga?"

"Nggak sih.. cuma malas aja kalo lama-lama saya ketularan dukung dia. Takut dosa euy!" Pak Supri menggigit-gigit bibirnya sendiri sambil sesekali mengedipkan sebelah mata.

"Oh.."

"Saya cuma mau menghindari dosa, Mas. Jadi mending saya putusin silaturahmi sama orang-orang yang bisa menjauhkan saya dari Agama." Pak Supri meneruskan omongannya sambil menarik kerah kaosnya hingga ke lengan. Pundaknya terbuka.

Melihat situasi semakin tak lazim, gue pun segera cabut dari warung bakso. Tanpa bayar. Bodo amat!

Tiga bulan terakhir, lingkungan gue lagi berisik banget. Ada yang ngomongin SARA, ada yang ngomongin Politik. Moment PILKADA menjadi gara-gara atas ini semua. Orang-orang yang dulu suka nongkrong rame-rame di depan rumah, mendadak pada saling marah, suasana juga selalu gerah.

Ini yang kurang gue suka dari momen-momen pemilihan umum. Zaman Pilpres, banyak orang gontok-gontokan. Zaman Pilkada, semua terulang kembali. Padahal, faktanya gini loh, siapapun pemimpin yang terpilih, dalam waktu seminggu, sebulan atau bahkan 5 taun, hidup kita gak akan langsung berubah 180 derajat. Misalnya Pak Supri, yang biasa jualan Bakso, setelah pemimpin idolanya terpilih, Pak Supri gak mendadak jadi Anggota DPR juga. Pemimpin itu bukan pembawa perubahan besar. Yang membawa perubahan besar itu rakyatnya. Jadi, mind-set "pilih pemimpin terbaik, lalu kita hidup seenaknya", gak bakal bisa majuin negara.

 

Negara/wilayah gak bakal bisa maju tanpa persatuan dari rakyatnya. Pemimpin itu cuma pembuat kebijakan, sedangkan rakyatnya adalah pelaku dan pengawas kebijakan. Kalo kita gak awasin dan laksanain kebijakan dari pemimpin, ya sama juga bodong. Oke, sampe sini, gue rasa udah cukup jelas gimana konsep pemimpin wilayah ya.

Sekarang gue mau ngomongin tentang politik adu domba yang secara gak sadar sudah sukses dijalankan oknum-oknum timses paslon cagub yang mau ikut Pilkada. Ada yang menebar kebencian kepada pasangan calon lain dengan membawa isu SARA, ada juga yang menyebarkan kabar-kabar buruk tentang paslon lawan yang belum tentu benar.

Cara seperti ini amat sangat gue benci. Kenapa? Karena kalo semua paslon berkampanye dengan saling menyebar kebencian, efek buruknya bakal dalam dan awet. Kenapa begitu? Karena dengan menyebarkan kebencian, dan banyak orang percaya dengan fitnah-fitnah itu, orang-orang akan seterusnya membenci korban. Bahkan sampai nanti si paslon terpilih jadi pemimpin, dia akan tetap dibenci dan tidak dipercaya oleh sebagian rakyatnya yang dulu mendukung paslon lain. Kalo mereka benci secara permanen kepada pemimpin yang terpilih, mereka tak akan mengikuti kebijakan yang dibuat pemimpin itu. Kalo udah begitu, seperti yang tadi gue sampein, si pemimpin bakal gagal membawa perubahan besar, karena sebagian rakyatnya tak percaya dan tak mau menjalankan kebijakannya. Bukankah ini celaka namanya?

Kalo politik adu domba dan menebar kebencian selalu dijalankan, bisa-bisa kita gonta-ganti pemimpin setiap bulan. Kalo itu kejadian, kita gak bakal sempat kerja. Semua kebijakan yang dibuat, belum diaplikasikan, udah dipaksa digantikan. Apa itu yang dimau?

Gue sih percaya, demokrasi itu bisa berjalan baik bukan di saat si pemimpin yang paling banyak pendukungnya menang. Tapi demokrasi akan berjalan baik, di saat pemimpin sudah terpilih, semua pendukung dan non-pendukungnya bersatu lalu menjadi pengawas dan pelaku kebijakannya. Bukan terus membenci dan merecoki segala kebijakannya, tanpa mau peduli apa dampak baik/buruknya.

Buat lo yang jelas berpendidikan, gue pesenin.. jangannnn.. sekali lagi, jangaaaaan mudah percaya kabar negatif tentang paslon. Selalu cari info buat klarifikasi kabarnya. Zaman sekarang siapa saja bisa bikin portal berita. Cara mengenali berita hoax/gak itu mudah. Saat berita itu cuma dari satu sumber, tanpa ada klarifikasi dari yang diberitakan, bisa dimungkinkan itu kabar yang kurang benar. Zaman dulu, unsur berita itu ada 5W1H (What, Where, When, Who, Why & How). Zaman sekarang banyak berita yang unsurnya 5W1H (Wow! Wow! Wow! Wow! Wow! & Hoax), alias judul dan isinya sensasional, tapi kebenarannya belum bisa dibuktikan. Jadi, hati-hatilah dalam menerima informasi. Apalagi informasi yang cuma bersumber "katanya". Di zaman internet ini, kita harus cerdas dan dewasa. Coba mengerti sebelum membenci. Karena kalo udah duluan membenci, biasanya nggak bakal mau mengerti.

So guys.. I think that's all I can say on this post. I just hope that this election will give us the best leader, to make our town gets better. How to make our own life gets better? Just work harder. :)