Sekitar 3 minggu yang lalu, gue lagi main drone sama sohib gue Tyo. Kita main di lapangan area Pondok Indah. Gue nggak mau Tyo jadi kacang cuma nemenin gue main, makanya, gue bawa drone 3 biji. Saat lagi asyik main, gue liat Tyo nerbangin drone gue cukup tinggi. Gue bilang ke dia, "Kalo masih belajar, jangan tinggi-tinggi, Yo. Mending latian landing halus dan hovering ajah."

Tyo pun mengikuti instruksi gue. Dia terbangin drone itu, lalu landing, terbangin lagi, lalu landing lagi. Sampai akhirnya gue liat drone dalam kondisi miring, Tyo panik, drone itu terbalik dan jatuh. Efeknya....


Gimbal kameranya copot, kabel ribbon putus

Biaya yang harus gue keluarin buat benerin Drone itu cukup gede juga. Dan ntah kenapa, saat itu gue nggak punya niatan buat marah-marahin Tyo karena gue nyadar, Tyo nggak ngelakuin hal itu secara sengaja. Ntah kenapa, dari dulu gue nggak bisa ngerti esensi dari ngamuk-ngamuk ke orang yang nggak sengaja bikin kesalahan. Gue cuma tahu, emosi itu cuma bakal nguras energi, tapi nggak bakal ngasih solusi.

Setelah gue benerin drone itu, gue cuma bilang ke Tyo, “Kerusakan yang lo bikin seharga 4,5 juta, tapi persahabatan kita nilainya tak terhingga. Jadi, gue nggak mau minta ganti rugi sepeser pun. Karena kita masih sahabatan kan?”

Tyo mengamini ucapan gue.

Kenapa gue ceritain pengalaman gue di atas? Karena gue abis ngalamin kejadian yang bikin gue lebih mengerti tentang keikhlasan.


...


“Kita jadi ke Borobudur kan, Le?” Begitulah pertanyaan eyang dari ujung telepon sesaat setelah gue bilang “Halo.”

“Insyaallah, Eyang.. Nanti aku usahain mudik lebih awal biar sempet ke Borobudur sebelum Lebaran.

“Ya harus sempet. Mumpung Eyang masih hidup.”

“Eyang harus panjang umur lah.”

“Amin.”

Begitulah kira-kira obrolan gue sama Eyang putri beberapa hari sebelum gue mudik dari Jakarta menuju kampung beliau di Sragen. Beberapa tahun terakhir gue rutin ngajakin Eyang dan keluarga besar buat piknik setiap abis lebaran sebagai momen kebersamaan keluarga yang cuma bisa menyatu setahun sekali itu. Selain itu, sejak Eyang Kakung meninggal, gue emang pengin banget selalu melukis keceriaan di hati Eyang Putri. Karena gue tumbuh dan berkembang di dalam kasih sayang eyang.

Untuk tahun ini, eyang pengin banget ngelihat Candi Borobudur dan Laut Selatan, tepatnya Pantai Parangtritis Yogyakarta. Gue pun sengaja mudik di H-10 lebaran biar nggak kena macet dan pengin piknik sebelum lebaran. Belajar dari pengalaman tahun lalu, kalo piknik pasca lebaran, kondisi obyek wisatanya bakal kayak gula sebiji diserbu semut seprovinsi.

Obyek wisata, kalo lebaran berubah jadi bubur manusia

Kami berangkat dengan menggunakan 2 mobil. Soalnya, total orang yang ikut adal 14 orang. Om gue dan bininya, pakdhe gue dan bininya, serta anak-anak mereka ada di mobil sebelah. Sedangkan gue di mobil ama eyang, adek, mama, dan bu lik. Perjalanan dimulai dari Sragen pukul 5 pagi, gue dan keluarga pun sampai di Borobudur pukul 11. Di sana, kami melakukan hal-hal layaknya para turis. Foto-foto, belanja suvenir, dan buang sampah pada tempatnya. Gue salut melihat eyang mampu menaklukan anak tangga Candi Borobudur hingga puncaknya di usia beliau yang sudah hampir 80 tahun. Sedangkan gue, tiap naik 10 anak tangga, kudu berenti dan ngeliatin foto Raisa biar semangat.




Setelah puas bernarsis-narsis ria di Borobudur, eyang ngajakin pindah tempat. Kami pun melanjutkan perjalanan dari Borobudur ke Pantai Parangtritis yang jaraknya kurang lebih 60an KM. Di sepanjang perjalanan, eyang muntah-muntah mulu, gue pikir beliau masih sering dugem. Ternyata, beliau cuma mabuk darat. Kasian sih, cuma beliau ngotot untuk tetap melihat Pantai Parangtritis. Akhirnya, perjalanan tetap kami lanjutkan.

Sesampainya di Pantai Parangtritis, kami kembali menikmati pantai layaknya turis. Nulis nama mantan di pasir pantai, kejar-kejaran sama ombak, dan ngambang. Sekian tahun nggak main ke Pantai Parangtritis, gue lumayan pangling. Banyak “mainan” baru yang disewakan di sana. Mulai dari berkuda, sampai main balap motor. Dan saudara-saudara gue, pada main ATV.


Yang mau jadi menantu, coba sini dites fisiknya dulu. *lindas maju-mundur*

Hari ini berjalan dengan indahnya. Sampai akhirnya, sore menjelang. Pukul 4 sore kami memutuskan untuk pulang, agar saat berbuka puasa tiba, kami bisa menemukan warung di kota.

Sebelum balik dari pantai, gue udah nyadar kalo gue mulai capek. Soalnya malam sebelumnya gue tidur pukul 2 pagi ngelemburin kerjaan, terus besoknya langsung nyetir selama 5 jam plus 2 jam. Jadi, daripada terjadi apa-apa, gue minta om gue buat nyetirin mobil gue, agar gue bisa tidur. Gue duduk di mana? Duduk di jok sebelah om gue. Eyang gue ke mana? Beliau minta pindah ke mobil satunya karena beliau bilang, pewangi mobil gue lah yang bikin beliau mabuk darat. Padahal, gue nggak ngerasa masang pewangi mobil. Mungkin aroma kaos kaki basah gue yang kesimpen di mobil selama seminggu itu, dikira aroma parfum mobil kadaluarsa sama beliau. Sedih.

...

Kami pun meluncur meninggalkan Pantai Parangtritis. Om gue nyetir, sedangkan gue duduk di sebelahnya. Karena tersiksa oleh rasa letih, gue pun mulai ketiduran. Waktu terasa sangat cepat berlalu karena pulasnya gue tidur. Lalu, tiba-tiba terdengar suara teriakan, “Loh? Kok nggak berenti?! Loh! Loh! Brak!!” 

Gue kebangun dan mendapati kaca depan mobil gue udah retak, ada beberapa potong genteng berceceran, dan kayu di depan mata gue. Suasana lumayan gelap, terdengar suara Sophie, anak balita om gue menangis. Gue panik, dan langsung menoleh ke samping dan belakang, memastikan semua orang selamat. Dan Alhamdulillah, bu lik, nyokap, pak lik, dan adek gue selamat tanpa cidera sedikit pun. Mereka hanya shock karena tragedi yang baru terjadi. Gue juga masih bingung dengan apa yang baru terjadi. Gue nyoba keluar dari mobil dan melihat apa yang menimpa mobil gue. Dan yap..

GTA (Grand Teft Astaghfirullah)

Ternyata mobil gue nabrak sebuah warung makan. Kemungkinan tadi om mau berenti di warung makan buat nyari hidangan buka puasa. Gue juga shock ngeliat keadaan mobil gue yang lebih parah dibanding mobil yang abis dipake om Vin Diesel nyerang Israel.

Beberapa saat kemudian, orang-orang berkerumun menolong kami untuk membebaskan puing-puing atap warung dari mobil gue. Om gue yang shock udah dikeluarkan dari mobil. Saat gue diminta mundurin mobil, gue nemu sendal om yang berada di bawah tuas rem. Dari petunjuk itu, gue bisa nyimpulin bahwa om gue nyetir tanpa sendal, nah, pas sendalnya kegeser di bawah tuas rem, otomatis remnya nggak bisa diinjek. Tolong buat temen-temen yang hobi nyetir sambil nyeker, alas kakinya taroh di lantai seat sebelah aja yah. Biar hal ini nggak terjadi juga di situ.


Setelah gue sukses minggirin mobil, gue deketin om gue yang masih shock dan bininya yang mangap-mangap nangis sambil bilang, “Ini ntar gimana mas? Ini ntar gimana? Aku mau ganti pake apa?!”

Gue nggak mau marah ke mereka. Gue pun nyoba nenangin mereka, “Sudahlah Pak Lik, Bu Lik, yang penting kita semua selamat. Mending lebaran nanti tanpa mobil, daripada tanpa keluarga. Soal mobil jangan dipikirin. Tenan. Ndak apa-apa. Itu mobilnya asuransi full risk. Nanti bakal dibenerin sama asuransinya, GRATIS.”

“Terus warunge ini nanti gimana gantinya?!” Bu Lik gue masih panik.

“Kita berdoa ajah, yang punya warung ini nggak akan memperparah urusannya. Berdoa ajah.” Gue jawab dengan setenang mungkin, walaupun dalam hati gue sendiri juga resah. Gue takut kalo yang punya warung bakal nggak bisa jualan, dan bahkan gue takut kalo yang punya warung bakal bawa urusan ini ke polisi.


Waktu berjalan, adzan Isya mulai berkumandang. Kami duduk di meja warung bagian belakang. Pelayan warung itu memberikan beberapa teh hangat untuk menenangkan kami. Lalu dari kejauhan, datang sesosok pria kurus, tinggi, dan dari perawakannya, gue kira dia berusia 30an.

“Halo.. Saya Andri.. Pemilik warung ini.”

Belum sempat gue bilang apa-apa, dia tiba-tiba ngomong. “Ayo diminum dulu tehnya.”

Kami secara kompak meminum teh hangat yang disediakan. Andri melanjutkan, “Tenang.. Tenang.. Untuk saat ini saya minta anda tidak usah memikirkan dulu masalah ini. Yang penting tenangkan pikiran dulu.”

Andri terlihat memanggil salah satu pelayan, lalu berbisik. Setelah pelayan itu pergi, Andri melanjutkan pembicaraannya, “Begini.. Saya tau, anda tidak berniat sama sekali untuk menabrak warung saya. Saya yakin itu.”

Kami mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun. Andri kembali melanjutkan, “Jadi, menurut saya, saya tidak perlu menuntut apa-apa dari anda. Karena, mau ditabrak ataupun tidak, saya memang mau mengganti teras warung saya itu. Saya percaya, segala hal yang terjadi di dunia, sudah pasti atas izin-NYA. Jadi, apapun yang terjadi, pastilah ada alasan baiknya.”

Gue reflek tersenyum mendengar kalimatnya yang sangat adem di telinga dan hati. Lalu, gue menjawab, “Saya juga percaya, bahwa perkenalan ini pasti punya alasan yang baik bagi kita kelak. Tapi mas.. Saya tetap merasa harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Jadi, kira-kira bisakah anda sebutkan berapa nilai ganti rugi yang harus saya keluarkan untuk menghilangkan beban anda?”

“Saya tidak akan menyebut nilai, mas. Saya tidak mau. Sumpah saya tidak mau. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada anda, berapa kira-kira ikhlasnya anda untuk mengganti kerusakan ini. Toh, tidak banyak kok yang perlu diganti. Hanya beberapa batang bambu dan genteng saja.” Jawab Andri dengan sangat tenang.

“Tapi mas.. Saya tidak tahu berapa nilai yang layak untuk mengganti semua.” Gue makin bingung.

“Terserah mas saja.. Dan, saya ndak minta sekarang kok mas. Saya tahu keadaan mas sekeluarga juga sedang sangat tidak enak. Saya tidak mau menambah beban anda sekarang. Silakan besok-besok saja. Tidak apa-apa.”

Gue tertegun mendengar kalimat Andri barusan. Di saat tempat dia mengais rezeki hancur, dia masih memikirkan keadaan kami.

“Serius mas? Anda percaya sama kami? Anda percaya misal kami akan menggantinya esok atau lusa?”

“Iya.. Saya sangat percaya.” Jawabnya sigap.

“Terima kasih banyak untuk kebijaksanaan anda, mas Andri. Mungkin, agar lebih nyaman, saya akan meninggalkan kartu identitas saya sebagai jaminan.” Gue nyoba ngeyakinin Andri bahwa kami nggak bakal curang.

“Tidak perlu.. Serius. Saya tidak meminta itu. Kembali lagi, saya percayakan sepenuhnya kepada keputusan anda. Saya percaya.”

Nggak ada satu kata pun yang mampu menggambarkan apa yang gue rasain saat itu. Gue cuma bisa tersenyum dengan tatapan penuh kekaguman kepada Andri. Lalu, datanglah pelayan yang tadi dipanggil Andri. Dia membawa nampan berisi makanan.

“Nah.. Sekarang, saya minta anda semua makan dulu. Pastinya tadi pengin buka puasa kan niatnya ke sini?”

Kami kompak mengangguk.

“Yuk.. Dimakan dulu. Setelah kenyang, dan pikiran tenang, silakan anda pulang dan beristirahat dulu. Jangan pikirkan dulu masalah ini.” Malam itu, gue ngeliat sebuah ekspresi adem penuh ketulusan yang amat jarang gue temui di zaman sekarang.

Itulah akhir dari drama liburan keluarga gue hari ini. Gue abis ketemu manusia yang super duper langka di zaman setengah gila ini. Mungkin banyak orang yang di posisi Andri bakal nyari untung atas bencana orang lain dengan cara “malak” ganti rugi yang besar, tapi dia tidak. Mungkin banyak orang yang akan memanfaatkan posisinya sebagai korban untuk memeras, tapi Andri tidak. Mungkin banyak orang yang akan mengamuk-amuk karena propertinya dihancurkan oleh orang yang tidak dia kenal, namun Andri malah menenangkan kami.

Hari ini, gue dapet pelajaran baru dari hidup. Ikhlas adalah obat hati paling mujarab. Dari Andri, gue juga belajar untuk lebih tenang dalam keadaan seperti ini. Gue nggak ngomelin om gue, karena ngomel-ngomel nggak bakal bikin semua masalah selesai secara instan. Dari Andri, gue belajar untuk selalu mendahulukan kemanusiaan dibandingkan uang. Dari Andri, gue belajar bahwa silaturahmi bisa dimulai dari hal-hal yang tak terduga.


...

Kejadian barusan, mengingatkan gue kepada drone yang dirusakin sohib gue, Tyo beberapa minggu yang lalu. Dan hari ini, terbukti.. Karma baik juga terjadi ke gue. Saat keluarga gue ngerusakin properti orang, gue nggak ngerasa dipalak, dimarahi, maupun dicurangi. Gue malah ngerasa pengin lebih mengenal korban ini. Mungkin ini rasa yang sama seperti yang Tyo rasain pas gue nggak marah-marah sama dia. Yang paling gue syukuri dari kejadian ini adalah, nggak ada satu orang pun yang cidera. Dan Alhamdulillah eyang pindah mobil sebelum kejadian. Beliau ada masalah sama jantung, nggak kebayang deh kalo beliau yang duduk di samping kursi kemudi saat kejadian.

Jujur, sebagai manusia ada sedikit rasa kecewa di hati gue atas tragedi ini. Tapi gue nggak mau ngasih makan ego gue dengan kekecewaan ini sehingga gue ngamuk-ngamuk ke sodara sendiri. Gue nggak mau lebaran taun ini terasa nggak nyaman di keluarga. So, I'll pretend everything is okay. Karena sekali lagi, mending lebaran tanpa mobil, dibanding lebaran tanpa kehangatan keluarga.

Sekian curhat gue hari ini. Maaf kalo berantakan banget. Gue cuma pengin numpahin apa yang ada di kepala karena pengalaman barusan bener-bener bikin gue ngerasa sangat campur aduk. Yang jelas, gue semakin percaya bahwa orang baik, akan dipertemukan dengan orang baik, dan akan diberikan kehidupan yang baik juga. Dan gara-gara temen gue ngechat, gue tadi malah nyeplosin sebuah pemikiran untuk menyikapi setiap cobaan:




Setuju?

Makasih udah baca curhatan gue. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini. Untuk mas Andri, pemilik warung Soto Seger Sastro yang berlokasi di depan kantor Imigrasi Surakarta, semoga Tuhan selalu memberikan kehidupan sedamai pola pikir anda. Dan semoga, kita bisa selalu menjalin tali silaturahmi yang abadi. Saya kagum dengan orang-orang seperti anda.

UPDATE:



- Kemarin gue ke lokasi warung Soto Seger Sastro untuk melihat proses renovasinya, dan alhamdulillah udah kelar. Warungnya udah beraktivitas dengan normal kembali. Semoga semakin laris.




- Alhamdulillah Tuhan ngasih rezeki buat benerin kaca mobil buat dipake mondar-mandir silaturahmi ke rumah saudara-saudara pas lebaran, sisa kerusakan body bakal gue klaim ke asuransinya.



- Om gue yang masih kepikiran, keliatan sangat down, tapi udah gue coba tenangin, dan syukurlah dia nggak jadi tukang bengong lagi.

Tuhan maha baik, selalu ngasih cobaan sekaligus solusi. Jadi, kita yang menjalani dengan ikhlas, malah terhibur gini. :D