Kemarin gue ngobrol-ngobrol sama temen gue yang udah cukup dewasa. Dia baru saja ditinggalkan oleh suaminya. Sebut saja, Ningsih namanya. Ningsih curhat tentang cowok-cowok yang mendekati dia cuma karena alasan dia adalah seorang janda. Dia pun stress juga karena setiap cowok yang ngedeketin dia, tujuannya nggak ada yang serius. Selalu cuma mau main-main, atau cuma seneng-seneng doang. Karena alasan itu, akhirnya Ningsih males buat pacaran lagi. Dia jadi apatis sama setiap cowok yang mau mendekati dia.

Tapi dari semua cowok-cowok iseng itu, Ningsih juga bercerita tentang seorang cowok yang mendekati dia secara tekun. Hampir setahun lamanya cowok itu selalu menghubungi Ningsih secara intens. Tuh cowok lebih muda dari dia, punya karier yang oke, dan kehidupan yang mapan. Saat gue tanya, apakah Ningsih akan menerima cowok itu, Ningsih menjawab tidak. Ningsih bilang, dia ngerasa nggak layak buat dimiliki cowok itu karena Ningsih punya banyak kekurangan. Statusnya yang sudah janda, anaknya yang udah gede, adalah beberapa kekurangan yang membuat dia menolak cowok itu. Ningsih merasa tidak pantas untuk memiliki pria itu, karena dia berpikir, di luar sana masih banyak cewek yang lebih menarik, masih perawan, dan lebih layak untuk memiliki cowok itu.

Di titik itu, gue gemes sama Ningsih. Dia merasa kesepian karena tidak punya pasangan untuk membesarkan anaknya. Tapi di sisi lain, dia menolak orang yang bersedia menerima apa adanya. Karena cerita itulah, gue mau berbagi kepada kalian di postingan ini. Gue pengin membahas tentang hal-hal di dalam diri kita yang kita anggap sebagai kekurangan.


Sadar nggak sih, kadang kita itu terlalu sibuk melihat kekurangan kita sendiri dibanding kelebihan kita? Sadar nggak sih, kadang orang lain tidak menyadari tentang kekurangan kita? Justru mereka baru menyadari kekurangan kita, dari sikap kita saat mencoba menutup-nutupi kekurangan kita.

Gue pernah membaca buku yang ditulis oleh seorang biksu Tibet bernama Ajahn Brahm. Dia bercerita tentang seorang pemilik rumah yang gundah karena rumah yang dia bangun, ada satu batu bata yang dipasang terbalik. Bukan horizontal posisinya, tapi vertikal. Karena hal itu, pemilik rumah terlihat sangat kecewa dan merasa rumahnya tidak sempurna. Lalu biksu itu berkata, 

"Apakah dengan satu batu bata yang terbalik itu, rumahmu akan ambruk?"

"Tidak." Jawab si pemilik rumah.

"Apakah dengan satu batu bata yang terbalik itu, rumahmu bisa ditembus oleh air hujan, maling, dan binatang liar?"

"Tidak pernah" Pemilik rumah menggelengkan kepalanya.

"Apakah dengan satu batu bata yang terbalik itu, orang-orang akan menganggap rumahmu jelek?"

"Belum ada yang bilang begitu." Pemilik rumah kembali menggelengkan kepalanya.

"Nah.. Kalau begitu, apa yang kamu khawatirkan dari rumahmu?"

"Aku menginginkan rumah yang sempurna konstruksinya.  Satu kekurangan ini mengganggu pikiranku."

"Sadarlah.. Batu bata yang terbalik ini memang mungkin tidak indah bentuknya. Tapi lihatlah.. Posisinya memang seperti itu untuk menutupi bagian yang kosong di bagian tembok pojok ruangan. Apabila kamu memaksakan untuk tidak memasang batu itu dengan posisi seperti sekarang, bagian tembok itu tidak akan kuat. Kamu memilih rumah yang sempurna bentuknya namun tidak kuat, atau rumah yang memiliki kekurangan bentuknya, namun kokoh?" Biksu menjelaskan sambil menunjuk bagian pojok rumah yang batu batanya terbalik itu.

Pemilik rumah terperangah, lalu menyadari apa yang dikatakan Biksu itu benar. Dia pun tersenyum, dan segala muram durjanya hilang seketika.

Itulah manusia, kadang kita terlalu fokus kepada kekurangan kita, sampai akhirnya kita melupakan kelebihan kita. Gue jadi inget sama cerita gue sendiri dulu, di mana setelah gue kecelakaan, dan mata kanan gue mengalami cacat permanen. Gara-gara cacat di mata itu, gue jadi kehilangan semua rasa percaya diri gue. Gue pun tutupin mata kanan gue pake perban putih besar, meskipun sudah nggak luka lagi. Gue cuma nggak mau orang-orang melihat cacat gue di mata ini.

Keputusan itu ternyata membuat hidup gue semakin kacau. Orang-orang yang gue temui malah melihat perban gue dan membahas hal itu setiap kali kita mengobrol. Yah, gue pun semakin ngedrop. Akhirnya, setelah jengah dengan pertanyaan-pertanyaan orang, gue mulai mikir nothing to lose. Sudahlah, gue lepasin nih perban di mata. Gue plaster dikit aja di pojokan mata, karena kondisi mata gue kalo tanpa plaster itu, bakal selalu ngeluarin air mata. Kelopak mata gue masih sedikit terbuka, setelah operasi terakhir di mata gue.

Setelah gue nyoba cuek dengan cacat di mata gue, justru malah sedikit orang yang notice kalo mata gue nggak sempurna. Tapi ada juga orang yang notice dengan keadaan mata ini. Setiap ada yang nanya mata gue kenapa, gue langsung ceritain sejarah mata gue seperti di postingan INI. Dan setelah gue nyeritain itu, yang ada mereka malah salut dengan masa lalu gue yang begitu kelamnya, dan gue bisa survive. Jadinya, gue nyadar, ternyata kekurangan dalam diri kita, nggak selalu jadi kelemahan. Justru kadang itu malah menjadi kekuatan tersendiri yang membuat orang merasa kita lebih spesial.

Kembali kepada soal Ningsih. Berbekal pengalaman itu, gue pun ngasih masukan untuk Ningsih. Agar dia nggak pesimis lagi tentang keadaannya. Dia selalu pesimis untuk menerima orang baru karena dia merasa status janda dan punya anak itu akan membuat cowok-cowok ilfeel sama dia. Gue jelasin ke dia, bahwa status janda dan punya anak itu bukanlah kekurangan.

"Kalo ada cowok yang datang ke elo, harusnya elo nggak boleh minder. Justru cowok itu yang harus minder." Gue mulai coba jelasin ke dia.

Ningsih mengernyitkan dahi, "Kok bisa?"

Gue pegang pundak Ningsih, dan tatap matanya dalam-dalam, "Gini.. Lihat deh, Ning.. Dengan status lo yang janda, lo kerja dengan jalan yang halal, lo bisa ngegedein anak, nyekolahin anak, sendirian. Kok bisa lo anggep itu kekurangan. Justru itu kelebihan."

Ningsih terdiam, dan gue melanjutkan, "Bisakah dia menjadi pasangan yang lebih bertanggungjawab dari lo? Bisakah dia lebih tangguh dari lo? Cowok yang datang ke elo, istilahnya udah nggak perlu mikir berat banget untuk nafkahin lo. Karena lo udah bisa ngelakuin itu semua sendiri sebelumnya. Justru dia sendiri yang harus membuktikan bahwa dia bisa lebih baik usahanya dibanding lo, karena dia cowok. Ngerti?"

Ningsih mengangguk dan tersenyum.

"Pokoknya, jangan galau lagi. Kalo ada cowok datang ke elo, kasih tau dia, bahwa tanpa ada dia, hidup lo udah jalan dengan baik. Jadi, kedatangan dia harus bisa membuat hidup lo lebih baik, bukan makin ribet. Karena elo sudah mandiri, pastikan cowok itu bisa menyokong kemandirian elo, bukan memanfaatkan elo."

"Tapi kegagalan pernikahan itu kan nilai minus juga, Litt." Ningsih kembali mengeluh.

"Gini.. Kan pernikahan lo gagal, jelas karena laki lo dulu kabur sama cewek lain. Ninggalin lo dan anak lo. Apakah itu salah lo? Enggak. Justru lo harus bangga, karena lo masih bisa survive dengan hal itu." Gue kembali menepuk pundaknya. Ningsih tersenyum.

Itulah akhir dari obrolan kami. Ningsih tampaknya sekarang sudah nggak galau-galau lagi. Gue liat, dia udah mulai posting foto-foto ngedate sama cowok. Gue seneng ngelihatnya. Gue seneng, karena apa yang gue saranin, bener-bener mampu dia tangkap dengan baik.

Kesimpulannya sih, jangan takut untuk terlihat tak sempurna di depan orang lain. Kekurangan itulah yang membuat kita disebut manusia. Terlalu berusaha untuk membuat diri kita terlihat sempurna hanya akan membuat kita lupa caranya hidup bahagia. Karena kebahagiaan itu berawal dari saat kita bisa tampil apa adanya.

Nah, buat kalian yang masih suka minder sama kekurangan, coba deh liat kekurangan itu dari sudut pandang yang berbeda. Apakah itu memang sebuah kekurangan yang harus diperbaiki, ataukah itu sebenernya adalah sebuah kelebihan yang membuat lo salah persepsi?