Sejak pukul 4 sore di hari sabtu yang cerah, Supri sudah mencuci motornya. Setelah dia mencuci motornya, dia pun mengelapnya dengan sabun pencuci piring. Motor Jepang produksi tahun 1975 itu pun terlihat mirip seperti baru. Supri terlihat puas sama penampilan motornya. Dia pun bergegas pergi masuk ke dalam rumah dan menuju kamar mandi. Supri mandi dan keramas, lalu dilanjutkan dengan memakai parfum yang terbuat dari perasan kembang desa.

Supri memilih-milih koleksi bajunya yang ada di lemari. Lima belas menit berlalu, Supri masih bingung mau pake baju yang mana. Dia sudah mengeluarkan semua bajunya dari lemari. Padahal, pakaian Supri sama semua, seperti Nobita. Setelah Sholat istiqarah, Supri pun mendapatkan petunjuk, baju mana yang bakal dia pake malam itu. Dan setelah ganti baju, Supri pun terlihat tampan seperti biasanya. Rambut disisir belah tiga. 

Setelah sholat maghrib, Supri segera menyalakan motor bututnya. Supri segera meluncur ke rumah Ningsih, pacarnya. Satu jam perjalanan, dia tempuh untuk mencapai rumah Ningsih yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Tubuhnya yang tadinya wangi parfum, berubah menjadi wangi bensin. Supri memarkirkan motor bututnya di halaman rumah Ningsih. Dia pasang gembok di jeruji motornya, dikunci stangnya, dan dia copot busi serta piston motor itu untuk dikantongi, agar motornya tidak dicuri orang.

Halaman rumah Ningsih, tidak begitu luas, namun tampak sangat gelap karena di sana ada banyak pohon jati dan pohon-pohon lain yang usianya sudah ratusan tahun. Supri melewati pepohonan itu dengan lincah sambil beberapa kali terpaksa bertarung dengan cheetah, lalu Supri menyeberangi sungai kecil di depan teras rumah Ningsih. Terlihat di sungai itu ada beberapa buaya yang sedang menunggu korbannya. Selepas menyeberangi sungai, Supri pun tiba juga di teras rumah Ningsih.

"Tok! Tok! Tok!" Supri memukul-mukul pintu rumah Ningsih menggunakan kaki.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah yang berat mendekat dan pintu rumah itu dibuka. Muncul sebuah sosok hitam, besar dan berbulu. Supri terdiam sesaat, namun saat menyadari itu adalah ayah Ningsih, Supri pun angkat bicara.

"Mmm.. Maaf pak.. Ningsihnya ada?"

"Ada. Kamu siapa?" Suara serak dan berat terdengar dari mulut bapak Ningsih yang letaknya di bawah dadanya.

"Sa.. Saya Supri.. Pacarnya Ningsih.. Boleh saya ketemu?"

"Tidak! Kamu tau ini jam berapa?" Nada bicara bapak Ningsih mulai tidak bersahabat.

"Ba-baru pukul 7:30 pak.."

"NAH! Itu jam belajarnya Ningsih. Jangan diganggu. Emang kamu nggak belajar juga? Kamu nggak sekolah? Kamu pasti pengangguran ya?" Mata ayah Ningsih menatap tajam ke arah Supri. Air liur menetes dari mulutnya dan meluncur ke kakinya sendiri.

"Ti-tidak pak.. Saya satu sekolah sama Ningsih kok." Supri mulai ketakutan karena mata ayah Ningsih terlihat merah menyala.

"Ya sudah! Sana! Pulang. Belajar! Masih kecil kok udah pacaran!"

"Tap-tapi pak.. Ini kan malam minggu.." Supri memberanikan diri untuk menolak pulang.

"Belajar itu nggak ada jadwalnya! Selama ada waktu, bagusnya dipake untuk belajar!" Suara ayah Ningsih mulai mirip knalpot Harley Davidson. Membuat dada Supri bergetar-getar.

"Tap..."

"PULANG SANA!" Ayah Ningsih mulai mengamuk. Dia mencabut sebuah pohon besar dari depan terasnya, lalu dia kibas-kibaskan ke arah Supri. Supri pun ketakutan dan lari tunggang-langgang.

Malam itu, Supri gagal ngapelin pacarnya karena orang tua sang pacar tidak setuju dengan hubungan mereka. Supri tampak sedih, namun dia bersyukur setidaknya dia masih bisa pulang tanpa kehilangan satupun organ tubuhnya.

Yap! Mungkin sebagian dari kalian udah pernah ngalamin kejadian semacam itu. Gue sendiri juga pernah kok ngalamin hal yang lebih ekstrim daripada yang dialami Supri. Pas STM, gue dateng ke rumah pacar di malam minggu dan disambut ayah pacar di depan pintu. Ayahnya tidak melarang kami bertemu, tapi dia ngetes gue dulu. Gue disuruh baca sebuah surat di Al-qur'an.. Kalo gak bisa baca ampe habis, gue nggak boleh ketemu. Akhirnya, sebagai jebolan santri, gue terima tantangan itu. Dan lima menit kemudian, gue nangis sesenggukan karena gue salah paham. Gue kira, gue cuma disuruh baca Al-fatihah, tapi ternyata gue disuruh baca surat Al-baqarah, di mana mungkin kelar bacanya bakal besok lusa. Gue pun pulang dan nggak mau ngapelin pacar gue lagi.

Buat gue, mending sih ketemu orang tua yang to-the-point kalo gak suka gitu. Daripada sok ramah, tapi aslinya nggak suka sama gue. Nah, gue yakin, di luar sana banyak banget orang tua yang nggak suka kalo anaknya diapelin. Mungkin lo belum nyadar kalo ortu pacar lo itu nggak suka setiap kali lo ngapelin anaknya. So, kode-kode macam apa sih yang suka mereka lakukan buat nunjukin kalo mereka nggak suka sama lo? Let's cekidot!


Pic by: @olderplus - nyunyu.com

1. Pacar disuruh-suruh
"Kamu tahu nggak, siapa pria yang paling beruntung di dunia?" Supri mengucapkan kalimat itu sambil menggenggam tangan Ningsih. Mereka sedang duduk di sofa teras rumah.

"Siapa emang?" Ningsih tersenyum najis sambil berharap dia bakal digombalin.

"Aku.."

"Kamu? Kok bisa?" Ningsih mengernyitkan dahi.

"Soalnya, aku punya segalanya. Karena buat aku, kamulah segalanya. Hihihihi!" Supri menggenggam tangan Ningsih lebih erat, lalu mendekatkan bibirnya ke arah dada Ningsih. Saat bibir Supri hampir bersentuhan dengan tubuh Ningsih, terdengar suara kencang dari dalam rumah.

"NINGSIH!! SINI!!" Suara ayah Ningsih memanggil-manggil dengan penuh semangat. Supri dan Ningsih panik, Supri segera memakai celananya, dan Ningsih segera memakai kostum astronot.

Ningsih pun segera masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, Ningsih keluar rumah lagi sambil menggenggam duit sepuluh ribu.

"Maaf, aku tinggal bentar ya.. Disuruh beli obat nyamuk.. Hehe" Ningsih pamit ke Supri.

"I-iya.."

Lima belas menit kemudian, Ningsih sudah kembali ke rumah. Mereka kembali duduk bersama. Dan siklusnya terulang lagi. Setiap kali Supri dan Ningsih hampir bersentuhan, Ningsih disuruh keluar untuk beli gula, cabe, sayur, sampe disuruh jihad di Palestina.

Dengan siklus yang seperti itu, Supri pun tidak nyaman sama kondisi apel dia. Menyadari Ningsih yang sangat sibuk, Supri pun berpamitan untuk pulang. Misi ortu Ningsih buat bubarin apel itu pun sukses!

2. Disuruh masuk
Di minggu berikutnya, Supri kembali ke rumah Ningsih. Kali ini dia punya strategi baru, yaitu setiap kali Ningsih disuruh belanja keluar, Supri mau nemenin. Jadinya, malam minggu mereka malah lebih seru. Namun ortu Ningsih tidak kehabisan ide. Di saat mereka sudah merasa malam mulai larut, Ningsih dipanggil masuk ke dalam rumah dan disuruh tidur. Supri? Disuruh pulang dengan dalih bahwa sudah terlalu malam untuk bertamu. Padahal, jam baru menunjukkan pukul 19:45. Supri pun pulang dan merasa tak berdaya.

3. Lampu dimatiin
Di minggu berikutnya, Supri datang lagi dengan strategi baru. Supri sengaja datang dari pukul 5 sore, sehingga setidaknya dia bisa ngobrol sama Ningsih lebih dari dua jam. Namun, di saat mereka baru asik-asiknya ngobrol, dan jam baru menunjukkan pukul 6:30, lampu teras sudah dimatikan oleh ortu Ningsih. Karena keadaan sangat gelap dan mereka tak bisa melihat wajah masing-masing, Supri dan Ningsih pun merasa tak nyaman. Supri pun pulang lagi dengan luka di hati.

4. Disindir-sindir
Lagi-lagi Supri tak menyerah. Di minggu berikutnya, Supri membawa nasi bungkus dan lilin. Jadi saat ortu Ningsih mematikan lampu teras, Supri langsung menyalakan lilin yang dia bawa. Akhirnya dia malah bisa melakukan candle light dinner bareng Ningsih di teras rumah.

Baru juga mereka mau suap-suapan, terdengar obrolan kencang dari ruang tamu. Obrolan itu dilakukan oleh Ayah dan Ibu Ningsih.

"Anak jaman sekarang kok ndak ada sopan-sopannya ya pak! Jaman kita dulu, kalo mau nemuin anak perawan, pria itu ya harus kenalan dan izin ke orang tuanya dulu." Suara ibu Ningsih terdengar sengaja dibuat kencang agar terdengar hingga teras.

"Iyo.. Aku dulu mau kenalan sama kamu aja disuruh bantuin bapakmu garap sawah dulu. Anak sekarang mana mau kayak gitu. Mereka nggak ada yang mutu!" Ayah Ningsih menjawab pertanyaan ibu Ningsih dengan suara yang tak kalah lantang.

Obrolan lantang itu berlanjut dan berisi sindiran-sindiran yang membuat Supri merasa semakin tidak nyaman. Supri pun pamit pulang sambil berharap di jalan dia ditabrak oleh Boeing 737.

5. Gangguin obrolan
Tak mau kehilangan Ningsih, kali ini Supri menjalankan strategi baru. Dia membawa beberapa hasil kebun seperti singkong, jagung, dan emas batangan ke rumah Ningsih. Begitu tiba di rumah Ningsih, dia serahkan semua barang-barang yang dia bawa itu kepada ortu Ningsih sambil bilang kalo itu titipan dari ortu Supri. Akhirnya, sikap ortu Ningsih pun berubah. Mereka tidak menyindir-nyindir Supri lagi. Justru, ayah Ningsih malah mau mengakrabkan diri.

Tapi, jadinya saat Supri ngapel, Ayah dan Ibu Ningsih malah menemani mereka berdua ngobrol di teras. Ibunya Ningsih duduk di sebelah Ningsih sambil menonton sinetron di hapenya. Sedangkan ayah Ningsih sibuk membajak tanah di depan teras rumah memakai traktor diesel yang berisik.

Dengan keadaan yang seperti itu, Supri tak bisa menggombali Ningsih. Keadaan canggung terjadi. Supri pun tidak tahan lagi. Supri pulang dan berjanji bahwa dia tak akan pernah kembali. Yap.. Akhirnya ortu Ningsih menang lagi.

Okay.. Kayaknya itu aja dulu yang bisa gue bahas mengenai ortu pacar yang rese. Lo pernah ngalamin yang poin mana? Atau, lo pernah ngalamin poin lain yang nggak gue sebut di atas? Share di comment box yah.. Biar temen-temen yang belum nyadar jadi lebih peka. Ciao! :D